Senin, 12 Desember 2011

Bicameralisme Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

NARASI BESAR
Dalam sistem pemerintah demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, maka keberadaan lembaga perwakilan  rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat.[2] Lembaga perwakilan atau lembaga legislatif, saat ini di banyak negara disebut dengan nama Parlemen. Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya dikenal adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan bicameral. 

Yang pertama terdiri atas satu kamar, sedangkan yang kedua mempunyai dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-abad, kedua tipe struktur pengorganisasian demikian inilah yang biasa dikembangkan dimana-mana. Karena itu dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun literatur ilmu politik, kedua sistem inilah yang biasa dikenal.[3] 



Unicaremal
Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Tetapi justru sistem unikameral[4] inilah yang sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara dunia sekarang ini menganut sistem ini.[5] 

Dalam buku Parliament of The World (1986), dikatakan bahwa meskipun berusaha untuk menguji secara sistematik terhadap alasan-alasan yang bervariasi mengapa begitu banyak negara-negara mengadopsi sistem unikameral[6] yang melebihi cakupan studi tentang parlemen, ada beberapa hal yang dapat dicatat. Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai untuk memilih satu kamar daripada dua kamar, seperti masalah keseimbangan kekuatan politik adalah sangat kecil kesulitannya untuk memecahkannya daripada dalam suatu negara besar. 

Di negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biaya-biaya, dengan sedikit kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20, negara-negara Scandinavia mengganti sistem bikameral dengan unikameral, misalnya ;  Konstitusi Norway, pada awalnya disusun pada tahun 1814,  terdapat contoh  tentang parlemen yang mempunyai karakteristik yang jelas dari parlemen dua kamar. Parlemen-parlemen unikameral mendominasi sejumlah negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya baru-baru ini, dan dengan perkembangan politik dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di eropa pada saat pemerintahan parlemen dilahirkan.[7] 

Dengan membandingkan konstitusi-konstitusi yang ada di Asia, sistem unikameral yang dianut oleh Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait dan lain-lain, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam sistem unikameral itu terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.[8] 

Bicameral
Beberapa definisi tentang  bikameralisme dan Second chamber,  sebagai berikut
  1. Bicameral system : A term applied by Jeremy Bentham to the division of e legislative body into two chamber, as in the United States Government (Senate and House).[9]
  2. Bicameral system : A legislature which has two chamber rather than one (a unicameral system), providing checks and balances and lessening, the risk of elective dictatorship. At the birth of the United, Benjamin Franklin wrote that "aplural legislature is as necessary to good government as a single executive".[10]
  3. Bicameral : The division of legislative or judicial body into two components or chambers. The U.S. Congress is a bicameral legislature, since its divided into two houses, the Senate and the House of Representatives.[11] 
  4. Second Chambers : Historically second chambers are rooted in the medieval idea of representation of orders or ESTATES. The various sosial orders were considered to require representation in different methods of selection.[12]
    Second chamber atau Upper House di berbagai negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam-macam: sebagai contoh di Inggris dengan nama House Of Lords,; di Switzerland, Council Of State (Standerat), Di Jerman, Bundesrat, Di Malaysia, Dewan Negara, dan sebagian besar, seperti di Australia, Amerika Serikat, Canada, Perancis, masing-masing dinamakan dengan Senate.
Mengenai kamar kedua atau second chamber seorang utilitarian, John Stuart Mill dalam bukunya Representative Government mengatakan
But the houses need not both be of the same composition; they may be intended as check on one another. One being supposed democratic, the other will naturally be constituted with aview to its being some restraint upon democracy.' Kemudian ia juga berpendapat, ‘If one House represents populer feeling, the pther should represent personal merit, tested and guaranteed by actual public service, and fortified by practical experience. If one is the People's Chamber, the other should be the Chamber of Statesmen.'[13]


Penjabaran klasik tentang fungsi dari second chamber atau kamar kedua dikemukakan oleh Lord Bryce. Bryce mengatakan bahwa second chamber atau kamar kedua mempunyai 4 fungsi, yaitu:
a. Revisions of Legislation
b. Initiation of non-controversial bills
c. Delaying legislation of fundamental constitutional importance so as ‘to enable the opinion of the nation to be adequately expressed upon it', and
d. Public debate. [14]


Selain fungsi second chamber atau upper house yang disebutkan oleh Lord Bryce, argumentasi dibentuknya second chamber atau upper house menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution adalah:
  1. The existence of a Second Chamber prevent the passage of precipitate and ill considered by a single house;
  2. The sense of unchecked power on the part of single Assembly, concious of having only itself to consult, may lead to abuse of power ang tyrany;
  3. The should be a centre of resistance to the pre dominate power in the state at any given moment, whether it be the people as a whole or a political party supported by a majority of voters;
  4. In the case of a federal state there is a special argument in favour of a Second Chamber which is so arranged as to embody the federal principle or to enshrine the popular will of each of the states, as distinc from that of the federation as a whole.[15]
Wacana mengenai keunggulan dan kekurangan relatif dari lembaga legislatif bicameral masih terus menerus dilakukan oleh para ahli politik, wakil rakyat, dan pemerhati masalah politik dan konstitusi. Unikameralisasi berpendapat bahwa sistem dua majelis tidak lagi memenuhi kebutuhan keterwakilan karena anggota-anggota kedua majelis memiliki konstituen yang sama. Bicameralisasi berpendapat bahwa sistem dua majelis lebih mewakili banyak kepentingan yang saling tumpang tindih dari masyarakat majemuk. Terutamanya, keunggulan atau kekurangan dari sistem bicameral biasanya diperdebatkan dalam konteks keunggulan atau kekurangan sistem unikameral, dan kadang-kala perdebatan juga menyentuh issue federalisme. Kedua pihak menekankan bahwa struktur yang mereka dukung itu lebih responsif terhadap rakyat dan tidak terlalu terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan masyarakat yang dominan.[16]
    
Namun demikian, tidak ada satu sistempun, baik unikameral atau bicameral, bahkan federalis, dapat diterapkan secara universal, dan tipe sistem yang dipilih oleh satu masyarakat terutama tergantung pada keadaan politik, sosial, ekonomi, etnik, serta faktor-faktor lainnya. Pengalaman dibeberapa bagian eropa, Afrika, Amerika Latin dan Asia telah menunjukkan bahwa hampir  semua orang ingin menjadi pemimpin mencari legitimasinya dari istilah demokrasi, membuat hal ini semakin sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan dan pertentangan di dalamnya.[17]
     
Seperti yang dikatakan oleh  Melvin J Urofsky dalam tulisannya yang berjudul ‘Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi', adalah sebagai berikut: Demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Banyak ketegangan dan pertentangan dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggaranya agar bisa berhasil. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tapi demi pertanggungjawaban: sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik  untuk langkah ini. Demokrasi  bukanlah produk yang telah selesai melainkan sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang.[18]  

Mengenai demokrasi kita dapat merujuk pada pembagian demokrasi menurut Arend Lijphart. Demokrasi yang dikenal, biasanya adalah demokrasi perwakilan: pemerintahan oleh  perwakilan yang dipilih secara bebas oleh rakyat. Dalam hal ini terdapat banyak cara yang berbeda untuk sukses menjalankan demokrasi.[19] 

Berbagai model demokrasi, baik model  majoritarian democracy yang tepat untuk masyarakat yang homogen, maupun model concencus democracy yang tepat untuk masyarakat yang pluralistis, menawarkan suatu sistem bicameral untuk parlemen mereka. Dalam model majoritarian biasanya terdapat Asymmetric bicameralism atau asimetris bicameral dan model konsensus biasanya kecenderungan untuk memilih balanced bicameralism atau bicameral seimbang.[20]
Dalam praktek, pilihan apakah suatu parlemen bersistem unikameral atau bicameral, terlihat sederhana. Negara-negara federal hampir tanpa pengecualian memilih sistem bicameral dengan alasan struktur konstitusional mereka yang khas, negara kesatuan lebih bebas untuk memilih sistem yang mereka inginkan.[21] 

Banyak alasan mengapa begitu banyak negara mengadopsi sistem unikameral.[22] Beberapa kecenderungan penting yang dapat dicatat adalah negara-negara yang berukuran kecil kemungkinan besar mempunyai satu kamar daripada dua kamar. Hal ini karena masalah keseimbangan kekuasaan politik lebih mudah diatasi daripada di negara besar. Di negara-negara Kesatuan sosialis, sistem bicameral dipandang membawa komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biaya-biaya, daripada keuntungannya.[23] 

Penerapan sistem bicameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan  juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas). Jadi sebenarnya tidak banyak perbedaan apakah sistem unikameral atau bicameral yang digunakan dalam negara kesatuan atau federasi itu. Yang penting bahwa sistem majelis/kamar tunggal atau ganda itu dapat benar-benar berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.[24] 

Mengenai keunggulan sistem unikameral maupun bicameral, penulis akan mengutip pula pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M. Si., tentang kelebihan/keuntungan dalam sistem legislatif bicameral adalah kemampuan anggota untuk:
Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan);
- Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan;

- Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan
- Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Beberapa keuntungan dalam sistem legislatif unikameral, meliputi:
  • Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan Undang-Undang (karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda).
  • Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya apabila suatu - Undang-Undang tidak lolos, atau bila kepentingan warga negara terabaikan).
  • Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau kepentingan mereka; dan
    Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.[25]
     
KONSTRUKSI IMPLEMENTATIF
Dalam memilih suatu sistem apapun, mungkin ada kekurangan dan kelebihannya, namun dalam suatu sistem ketatanegaraan, suatu pilihan sistem diharapkan dapat memenuhi kepentingan rakyat mereka pada saat itu. Saat ini di dalam konstitusi Indonesia, yaitu Perubahan Ke-III dan Ke-IV UUD 1945, parlemen Indonesia bersistem bicameral dengan kamar pertama atau majelis tinggi nya bernama DPR  (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Kamar kedua atau majelis tingginya  bernama DPD (Dewan Perwakilan Daerah). 

Sistem parlemen bicameral ini dibentuk dengan tujuan menyuarakan aspirasi rakyat daerah dan diharapkan dengan dibentuknya sistem ini, kepentingan rakyat daerah dapat terakomodasikan sehingga diharapkan dapat menghindari kesenjangan dan ketidakadilan antara pusat dan daerah dan diharapkan pula dengan sistem ini dapat mencegah disintegrasi bangsa. 

Amandemen UUD 1945: Dari Soft Bicameral  Menuju Strong Bicameral
Jika kemudian Narasi Besar tentang bicameralism di bawa kedalam ranah Ketatanegaraan Republik Indoensia, maka harus ada beberapa agenda terkait dengan reformasi keparlemenan yang harus di laksanakan dengan melalui amandemen UUD 1945. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa setelah Amandemen I-IV UUD 1945 muncul sebuah lembaga "parlemen" yang dinamakan DPD. Namun ternyata peran fungsi DPD tidak signifikan dan memiliki posisi tawar sebagai the second chamber. Ini terlihat dari fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945,:
  1. Dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
  2. Ikut membahas RUU tertentu; 
  3. Memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN; 
  4. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1); 
  5. melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.      
Terlihat jelas bahwa ternyata peran dan fungsi DPD hanyalah sebagai lembaga "penyokong" DPR. Dengan peumusan seperti itu, eksistensi DPD tidak lebih hanya sebagai sebuah kamar parlemen yang "lumpuh". Sebab DPD tidak mempuyai tugas dan wewenang untuk ikut serta dalam bidang legislasi, budgeting dan controling.  Suatu tugas dan fungsi fundamental yang harusnya juga dimiliki oleh kamar the second chamber.
   
Jika kita berdebat mengenai bicameral dan unicameral, maka sebenarnya yang harus kita kembalikan adalah parameter untuk mengkategorikan bicameral dan unicameral. Definisi bicameral dan unicameral atau bahkan multicameral adalah dikembalikan pada fungsi utama parlemen yaitu legislasi. Unicameral, sebagaimana telah di terangkan dalam narasi besar diatas, adalah sebutan untuk sistem parlemen dimana hanya ada satu kamar, atau katakanlah satu Dewan, yang mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat Undang-undang (Legislasi). Dan di sebut sebagai bicameral, jika terdapat dua buah kamar atau Dewan yang mempunyai fungsi legislasi. Demikian juga dengan multicameral, berarti ada lebih dari dua atau banyak kamar yang diberi fungsi dan wewenang legislasi.
   
Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki, sistem bicameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bicameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok bicameral yang lemah. 

Arend Lijphart kemudian memberikan penjelasan antara parlemen bikameral kuat dan lemah yang dibedakan menjadi tiga ciri-ciri: Pertama, kekuasaan yang diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut; kedua, bagaimana metode seleksi mereka, biasanya memepengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-kamar tersebut; ketiga; perbedaan yang krusial antara dua kamar dalam legislative bicameral adalah kamar kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai perwakilan (overrepresent) minoritas tertentu/khusus.[26] 

Di Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk legislasi atau pembuatan UU adalah DPR. Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 20 ayat (1) "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang". Memang terdapat rumusan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:"Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat". Namun Pasal 5 ayat (1) tidaklah memberi kekuasaan kepada Presiden dalam hal legislasi, sebab Presiden hanya berhak saja mengajukan suatu Undang-Undang. Sedangkan hak bukanlah kewenangan. Kewenangan adalah terkait dengan kekuasaan dan mengharuskan untuk dilakukannya kekuasaan tersebut, yang jika tidak dilakukan justru akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan hak sesuatu yang relative, yaitu sesuatu yang bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tidak ada implikasi dan akibat hukum jika tidak memfungsikan atau melakukan hak yang dimiliki. Sementara, kewenangan DPD, sebagaimana di sebutkan diatas, hanya berfungsi sebagai kamar atau dewan "penyokong" dari DPR semata. DPD tidaklah mempunyai hak legislasi.    

Oleh sebab itulah, penulis berpendapat bahwa berdasarkan hasil dari Amandemen I-IV UUUD 1945, sebenarnya dalam ketatanegaraan kita lebih condong menganut Soft Bicameral (bicameral lemah).  

Strong Bicameral: Memperkuat DPD
Untuk itulah, maka yang pertama kali harus dilakukan  untuk mendorong parlemen Indonesia menuju sistem Parlemen Strong Bicameral,  mau tidak mau peran, fungsi dan tugas DPD haruslah diperkuat. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. 

Karena selama ini kita tidak menganut sistem bicameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.    
                                       
Sebagai referensi, kita dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bicameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bicameral dianggap lebih cocok.  Dari 32 negara yang memiliki sistem bicameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bicameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).[27] 

Selanjutnya mari kita lihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bicameral, yaitu masing-masing  Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bicameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu di antara lima negara dengan sistem bicameral tersebut. [28] 

Dalam "manajemen politik" seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bicameral. 

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bicameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bicameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat  diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan "ongkos yang harus dibayar" dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bicameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat.[29] 

Sistem bicameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bicameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas.

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bicameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bicameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bicameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia). 

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bicameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi; makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Itali, Filipina. 

Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah "anomali" karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia  merupakan satu-satunya negara dengan sistem bicameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah. Oleh karenya penulis menyarankan agar amandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan dan memperkuat DPD segera dilakukan. 

Beberapa Alasan
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa DPD harus diperkuat. Pertama, sistem dua kamar lebih menjamin demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara besar dengan jumlah suku dan agama yang beragam umumnya mengadopsi sistem parlemen dua kamar. Negara-negara besar yang makmur secara ekonomi dan demokratis secara politik menerapkan parlemen dua kamar, seperti Amerika, Jerman, Kanada, Belanda, Italia, Austria, Swis, Jepang, dan Australia. Bahkan Malaysia dan Filipina juga mengadopsi sistem tersebut. [30]


Bicameralisme tidak lagi identik dengan negara federal, tetapi semakin lazim di negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi seperti Indonesia. Sekarang ini, sekurang-kurangnya terdapat 22 negara kesatuan yang mempraktikkan bicameralisme dengan berbagai variasinya.[31] Bicameralisme juga tidak identik dengan sistem pemerintahan tertentu. 

Kedua, memperkuat sistem checks and balances. Hadirnya kamar kedua (second chamber) mengandaikan terciptanya checks and balances bukan hanya antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi juga di dalam cabang kekuasaan legislatif itu sendiri. Kamar kedua memungkinkan bekerjanya sistem double checks, yaitu terbukanya peluang pembahasan yang berlapis terhadap setiap produk legislatif yang berdampak bagi rakyat. Kamar kedua berfungsi, mengutip CF Strong (1973), untuk mencegah lahirnya undang-undang yang dibuat secara tergesa-gesa oleh satu majelis. 

Ketiga, memperjelas sistem parlemen Indonesia. Dengan memperkuat DPD, parlemen Indonesia semakin didorong ke arah bicameralisme murni, tidak pseudo-bicameralism seperti sekarang. Memperkuat DPD juga merupakan bentuk dari tindakan politik yang fair. Sebab, syarat untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Untuk menjadi calon saja, anggota DPD harus memperoleh dukungan 1.000 sampai 5.000 tanda tangan pemilih. Mereka langsung berhadapan dengan rakyat, berbeda dengan DPR yang dipilih melalui partai politik. 

Keempat, terkait dengan konsistensi pilihan yang sudah dilakukan Negara kita. Indonesia sudah menyepakati untuk mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan, namun dengan kompromi berupa otonomi daerah. Otonomi daerah yang ada di Indonesia adalah suatu bentuk kompromistis terhadap tuntutan adanya fedralisme yang dahulu pernah diusung oleh beberapa kelompok yang menginginkan menjadi Negara Serikat.


Konsekuensi dengan adanya otonomi daerah, maka perkembangan dan urusan daerah diserahkan kepada daerah, dengan tanpa mengurangi kewenangan pusat. System otonomi daerah mengharuskan parlemen lebih peka dan responsive terhadap perkembangan yang ada dan terjadi di daerah. Maka dengan mengadopsi system strong bicameral yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia, maka diharapkan justru akan memperkuat ketahanan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, hal itu akan menunjukkan bahwa parlemen bukan hanya  menampung aspirasi dan kemajuan daerah melalui DPD, namun lebih dari itu, mampu memperjuangkan dan menghasilkan suatu produk hukum yang lebih responsive dalam mengimbangi keinginan daerah untuk maju melalui lembaga DPD.   
REKOMENDASI

Karena itu, ke depan, harus didorong terbentuknya sistem strong bicameral, dengan cara: (1) DPD mempunyai wewenang legislasi, pengawasan, dan anggaran; (2) DPD mempunyai wewenang untuk membahas dan ikut memutuskan seluruh RUU yang dibahas DPR; (3) DPD memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU, tetapi terbatas pada bidang-bidang tertentu yang terkait dengan urusan daerah; (4) Susunan dan kedudukan MPR dirombak sehingga MPR hanya berfungsi sebagai rumah bersama bagi dua kamar DPR dan DPD. MPR tidak perlu memiliki Sekretariat Jenderal sendiri. MPR juga tidak memerlukan pimpinan permanen, karena bisa dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD. 

Demikian setitik pengetahuan yang dapat penulis sumbangkan dalam kerangka memperkuat system parlemen Indonesia. Semoga berguna bagi kemajuan dan kemaslahatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar