D. Landasan dan Asas Perlindungan HAM dalam KUHAP
Salah satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP adalah, bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang tersangka dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak seorang tersangka atau terdakwa tidak boleh diabaikan atau dilanggar.[1]
Ketegasan KUHAP dalam mengangkat harkat dan martabat manusia terlihat dari garis-garis landasan, asas dan prinsip KUHAP sebagai berikut.
1. Landasan Filosofis
Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun tersangka adalah: Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, semua manusia tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan. Mengandung arti bahwa :
1. Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.
2. Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
3. Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
4. Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.[2]
Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus terpatri semangat kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan hukum, mereka harus dapat mewujudkan keadilan yang hakiki.
Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak. Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
§ Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
§ Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap orang tersangka mempunyai kedudukan:
§ Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.[3]
§ Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
§ Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.[4]
Sebagai pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiring dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
3. Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection).
5. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Landasan Tujuan Melindungi Harkat Martabat Manusia terdapat pada huruf “c” konsideransnya yang menyatakan :
bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Landasan tujuan tersebut kemudian diterjemahkan pada rumusan-rumusan pasal dalam batang tubuh KUHAP bahkan sejak awal dimulainya upaya penyelesaian perkara pidana.
Kemudian dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970. [5]
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
E. Kebijakan Kriminal di Indonesia
Memahami kebijakan kriminal dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pemahaman sistem peradilan yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum. Maksudnya, bahwa penegakan hukum pidana antara lain dapat diwujudkan melalui sistem peradilan pidana yang sesuai dengan kebijakan kriminal.
Kebijakan kriminal (criminal policy) dapat diartikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan dalam arti luas yang mencakup Sistem Peradilan Pidana. Sedangkan dalam arti yang sempit, penanggulangan kejahatan hanya sebagai usaha-usaha pencegahan kejahatan tanpa menggunakan Hukum Pidana. Kegiatan tersebut dapat dicontohkan dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan sekitar warga, misalnya kegiatan yang mengatasnamakan kegiatan sadar hukum yang ditujukan bagi para kaum muda agar tidak terjerumus ke dalam lingkungan dan kelakuan yang melanggar hukum. Sistem Peradilan Pidana mencakup kegiatan bahkan sebelum suatu kejahatan terjadi. Dengan demikian, kebijakan kriminal yang dimaksud tersebut memusatkan diri pada kegiatan pencegahan (preventie) kejahatan dan pada kegiatan penegakan hukum.
Perumusan kebijakan kriminal sebagaimana diuraikan oleh Muladi, [6] tidak boleh lepas dari kebijakan sosial, perlu diperhatikan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana, sekaligus sebagai tolok ukur efektivitas Sistem Peradilan Pidana itu sendiri, yang terdiri dari:
- Perundang-undangan pidana yang lemah dan belum tunduk pada suatu pola perencanaan yang baku, baik dalam perumusan tundak pidana, pertanggungjawaban pidana maupun sanksi yang diancamkan. Kelemahan perundang-undangan tersebut disamping mempersulit penegakan hukum juga dapat menimbulkan kesan adanya kriminalisasi yang berlebihan. Sifat Sistem Peradilan Pidana sebagai sistem yang tertib menjadi terganggu, baik dalam kaitannya dengan para penegak hukum maupun pelaku tindak pidana serta calon pelaku tindak pidana.
- Clearance rate, yang sering terganggu dengan masih banyaknya kejahatan yang tidak dilaporkan dengan berbagai macam alasan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, pelaku kejahatan yang berada di luar Sistem Peradilan Pidana (pelaku kejahatan yang tidak dilaporkan) lebih banyak daripada yang dilaporkan.
- Conviction rate, tingkat keberhasilan penuntutan masih rendah walaupun menyangkut perkara yang meresahkan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum.
- Speedy trial, kecepatan menangani perkara sering dikatakan mempengaruhi efektivitas tujuan pemidanaan. Dari segi tujuan pemidanaan, penyelesaian kasus yang cepat akan membawa efek pencegahan yang lebih baik.
Selain kendala-kendala yang disebutkan di atas, lemahnya penegakan hukum yang diawali dari lemahnya kebijakan kriminal juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum, seperti kepolisian yang belum menunjukan sikap yang profesional, dan integritas moral yang tinggi. Kondisi sarana dan prasarana hukum yang sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum juga masih jauh dari memadai sehingga sangat mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum untuk berperan secara optimal da n sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.
Untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), pada Bab III yang menunjukan bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan mengenai peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum yang lebih profesional, berintegritas, berkepribadian dan bermoral tinggi melalui perbaikan-perbaikan sistem perekruitan dan promosi aparat penegak hukum, pendidikan dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.
Arah pembangunan dari kebijakan hukum kriminal tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai program pembangunan, salah satunya adalah program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan sebagai bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum dengan dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang propesional, berintegritas dan bermoral tinggi.[7]
Selanjutnya dikatakan Harkristusi Harkrisnowo, bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) dapat dipandang sebagai usaha masyarakat yang rasional dalam menanggulangi kejahatan, baik proaktif maupun reaktif, yang pada umumnya dirumuskan melalui perangkat perundang-undangan yang berkenaan dengan masing-masing lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dalam proses peradilan.[8]
Adapun perangkat perundang-undangan tersebut akan merefleksikan penanggulangan kejahatan melaui sarana pidana maupun non-pidana, yang menjadi landasan bagi bekerjanya sistem peradilan pidana. Kebijakan kriminal yang demikian itu mencakup pendekatan penal melalui sistem pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana maupun tindakan.[9]
Di era demokrasi seperti saat ini, peraturan hukum harus dirumuskan dengan mempertimbangkan secara komprehensif aneka dimensi persoalan. Seluruh aspirasi (suprastruktur, infastruktur, kepakaran, dan aspirasi internasional) dan berbagai kepentingan harus diselaraskan dan diserasikan. persoalan komunikasi masa akan menempati posisi yang strategis dalam kehidupan demokrasi dan akan bersentuhan secara langsung tidak hanya dengan persoalan supremasi hukum yang bersifat top-down, misalnya untuk kepentingan keamanan negara, tetapi juga sebaliknya bottom-down yaitu tentang bagaimana negara memenuhi kepentingan masyarakat. Hal ini mengingat masyarakat yang cenderung semakinkritis dan tidak begitu saja menerima suatu produk hukum. Persoaalan mengani hak-hak sipil dan masalah HAM akan menjadi tuntutan yang tinggi dari masyarakat. disinilah letak relevansi antara persoalan hak dan kewajiban menjadi lebih penting dalam hukum pidana. dalam penegakan hukum pidana, keberadaan hak-hak itu harus dijaga keseimbangannya dengan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum.
Apa yang diuraikan di atas akan menjadi nyata ketika dihadapkan dengan kinerja dan produk hukum Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang masih jauh dari tujuan utama diadakannya yang diharapkan oleh masyarakat. Masalah penegakan hukum Pidana melalui Sistem peradilan pidana akan membawa pada suatu fakta ketiadaan kebijakan kriminal yang jelas yang dirumuskan secara jelas, lengkap dan komprehensif di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar