BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
A.  Hak Asasi Manusia Dalam Konsepsi Hukum Pidana
Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dikemukakan Champbell yang dikutip Majda El-Muhtaj, bahwa hak asasi (fundamental rights) berarti hak yang bersifat mendasar (grounded), inheren (melekat)  dengan jati diri manusia secara universal. Hak tersebut didapat secara  langsung dari Tuhan Sang Pencipta manusia dan diberikan kepada seluruh  manusia. Tidak ada batasan manusia yang mana atau siapapun dia berhak  untuk memiliki hak tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa keabsahan hak  tersebut harus terjaga dalam hakekat keberadaan manusia. Dengan demikian  maka wajib hukumnya bahwa hak tersebut harus dimengerti, dipahami, dan  bertanggung jawab secara sungguh-sungguh untuk memeliharanya.
Lebih lanjut Majda mengungkapkan :
“Adanya  hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang  membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan  “keistimewaan” yang dimilikinya. Juga adanya suatu kewajiban pada  seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap yang sesuai  dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain”.
Adanya  hak yang melekat pada hakikat kehidupan manusia melahirkan kepentingan  bagi pemenuhan hak tersebut. Kepentingan ini tidak jarang bersinggungan  dengan kepentingan yang berasal dari hak orang lain. O.C. Kaligis mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut :
“Ketika  individu dipersatukan dalam masyarakat dan negara, terjadi  benturan-benturan antara pelaksanaan HAM antar individu dan antara  kepentingan individu dan kepentingan masyarakat/negara. Oleh karena itu,  dapat dikatakan bahwa HAM tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara,  cara penggunaan dan pembatasan kekuasaan negara”.
Disamping  keberadaannya yang mutlak, HAM juga melahirkan kewajiban bagi seseorang  pemilik hak untuk dapat mengakui dan menghormati keberadaan HAM orang  lain.  Dalam konteks ini, negara sebagai penjamin kehidupan manusia yang  selaras, serasi dan seimbang memiliki tanggung jawab besar untuk  mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban menghormati hak yang  lain. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to pullfill)  setiap HAM warga negaranya. Karena secara historis, keberadaan HAM  sekalipun telah melekat sejak manusia dilahirkan, namun kesadaran  terhadap penegakan dan perjuangannya baru muncul ketika manusia  menghadapi ancaman yang justru berasal dari kekuasaan negara.
Harus  ada pengaturan mengenai jaminan HAM dalam norma-norma hukum negara, hal  tersebut dimaksudkan agar HAM benar-benar dapat ditegakan dan memiliki  konsekuensi yang tegas terhadap pelanggarannya. Dalam Konstitusi (UUD)  negara Indonesia,  konsep perlindungan hukum terhadap HAM dijabarkan dalam batang tubuh  UUD 1945 setelah amandemen. Penjabaran tersebut yaitu terdapat dalam  rumusan Pasal-pasal antara lain sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) :
“Segala  warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan  wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada  kecualinya”.
Pasal 28G ayat (1) :
“Setiap  orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,  martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas  rasa aman dan perlindungan dari ancaaman ketakutan untuk berbuat atau  tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28G ayat (2) :
“Setiap  orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang  merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik  dari negara lain”.
Pasal 28I ayat (1) :
Hak  untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati  nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui  sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas  dasar hukum  yang berlaku surut adalah hak asasi manusiayang tidak dapat  dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Pasal 28I ayat (2) :
“Setiap  orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas  dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan  yang bersifat diskriminatif itu”.
            Ketentuan UUD 1945 di atas, menegaskan jaminan atas perlindungan HAM yang pada akhirnya merujuk suatu prinsip equality before the law (persamaan  di hadapan hukum). Hal itu tentu menimbulkan konsekuensi bahwa  pemerintah atau penguasa negara termasuk badan peradilan harus  memperlakukan setiap orang secara adil. Konsekuensi ini mengandung  pengertian bahwa tidak ada alasan yang membenarkan suatu paksaan yang  melawan kemauan orang lain dalam bentuk apapun. Namun pada  perkembangannya, sesuai dengan prinsip equality before the law yang dianut Indonesia, persamaan dihadapan hukum ini merupakan persamaan kedudukan dan kebebasan yang bertanggung jawab.
            Implementasi prinsip equality before the law  dalam sistem peradilan di Indonesia khususnya Sistem Peradilan Pidana,  memiliki kaitan yang sangat erat dalam rangka melaksanakan perlindungan  HAM. Dalam Sistem Peradilan Pidana, HAM merupakan sesuatu yang sangat  penting karena menyangkut dengan adanya hak tersangka dan terdakwa yang  harus dilindungi.  Sehubungan mekanisme tindakan upaya paksa dari aparat penegak hukum  dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, maka HAM merupakan sesuatu yang  bersinggungan langsung dan rentan terjadi pelanggarannya. Karena  sesungguhnya upaya paksa itu sendiri merupakan pelanggaran HAM. Namun  keterjaminan atas HAM tersangka atau terdakwa tetap merupakan tanggung  jawab yang harus dijunjung tinggi. Sesuai fungsinya, negara melalui  aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) termasuk advokat  harus dapat memberikan akses keadilan bagi masyarakat sebagai  perwujudan penegakan HAM tersebut. Terlebih kepada masyarakat miskin  yang tidak dapat mengusahakan bantuan hukum yang maksimal untuk dirinya.  
saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
BalasHapusArtikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)